Jumaat, 1 Julai 2011

MANUSIA dan HARIMAU .

Manusia dan Harimau di Kerinci

Persahabatan manusia dan harimau yang berasal dari daerah Kerinci, Jambi. Menurut kepercayaan masyarakat Kerinci, manusia memiliki hubungan batin dengan harimau

“bahwasanya di bumi sakti ini tumbuh suatu kepercayaan magis spritual tentang hubungan bathin manusia dengan harimau.

Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Kerinci tentang harimau merupakan warisan dari nenek moyang mereka yang konon telah berperan serta dalam melestarikan hutan di wilayah Kerinci yang merupakan habitat asli dari harimau Sumatra. Diceritakan dalam cerpen Cindaku tentang adanya perjanjian yang dilakukan oleh nenek moyang mereka yang disebut Tingkas, dengan harimau yang tinggal di suatu hutan di wilayah Kerinci. Perjanjian tersebut berisi tentang pembagian wilayah, antara wilayah hunian harimau dan wilayah manusia.

“Ini tidak terlepas dari legenda yang berkembang di mana di sebutkan dahulu Tingkas nenek moyang orang Kerinci telah menjalin hubungan dengan harimau, dan dalam hubungan itulah terbentuk perjanjian yang membatasi dan mengatur hubungan manusia dengan alam terutama hutan rimba.

Perjanjian itulah yang mengontrol nafsu masing-masingnya sehingga tidak sampai memakan wilayah satu sama lainnya. Hutan rimba adalah wilayah hunian harimau. Tingkas dan anak cucunya tidak boleh merampas hak itu. Sementara kampung dan kota adalah wilayah manusia, harimau pun tidak akan pernah berani berkuasa atau menunjukkan kebuasannya di sini."

Perjanjian tersebut merupakan suatu penggambaran sifat manusia yang mau menghargai kehidupan sesama makhluk ciptaan Tuhan. Hal tersebut dapat pula dihubungkan dengan kearifan lokal atau local wisdom, dimana suatu masyarakat mampu menyerap pesan-pesan yang disampaikan oleh para nenek moyang melalui cerita-cerita atau dongeng-dongeng yang bersifat peringatan maupun pendidikan. Dalam kasus ini, pesan yang disampaikan adalah sebuah peringatan tentang adanya pembagian antara wilayah harimau dan wilayah manusia yang harus dihormati keberadaannya.

Kearifan lokal itu sampai saat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Kerinci. Selain sebagai suatu penghargaan terhadap nenek moyang, tetap dipegangteguhnya warisan nenek moyang tersebut berhubungan dengan konsekuensi yang berat terhadap orang yang berani melanggarnya. Konsekuensi yang dimaksud dapat berhubungan dengan kematian yang disebabkan oleh serangan harimau, juga dihubungkan dengan kemunculan cindaku yang merupakan pelindung bagi harimau sekaligus penjaga wilayah hunianya.

"Perjanjian itulah yang disebut perjanjian garis tanah, yang berlaku selama ranting mati yang ditanam di tanah waktu itu tidak tumbuh berdaun apalagi berbunga. Ini berarti ini berarti perjanjian itu akan berlaku selama-lamanya, karena ranting mati yang di tanam itu mustahil akan hidup dan tumbuh seumur-umur dunia."

Kutipan diatas menunjukkan adanya unsur-unsur estetis yang diungkapkan melalui perumpamaan ranting kering yang tak mungkin bisa tumbuh lagi. Perumpamaan tersebut digunakan untuk menegaskan bahwa pejanjian antara manusia dan harimau berlaku untuk selama-lamanya.

"Untung dada nak Saketi ini tidak sampai menyentuh tanah......Karena kalau sampai menyentuh tanah maka wujud nak Saketi inipun akan berubah jadi harimau pula. Sebenarnya dia sudah tahu lawan yang dihadapinya itu adalah adalah salah satu sisi dari dirinya sendiri, eksistensi kehidupannya sebagai manusia yang terlahir dari tanah Kerinci. Dan rupanya makluk makluk berwujud setengah harimau setengah manusia yang disebut cindaku itu, juga cukup menyadari akan hal ini..."

"Nak Saketi, ternyata baru hari ini memasakkan ilmu batinnya, dan ini berjalan secara alami". Ujar dukun memberitahukan. Para lelaki itu masih belum mengerti dan tetap tak mengerti sampai ketika erangan kembali terdengar. Kali ini lebih mirip erangan seekor harimau. Tiba-tiba mata saketi terbuka menikam langit-langit dan alangkah kagetnya keempat lelaki itu menyaksikan mata Saketi, ternyata telah berubah jadi hijau dan tajam sekali. Dan semakin terkejut mereka ketika di tubuh Saketi bermunculan bulu-bulu kasar bercorak loreng. Terus tumbuh sampai akhir menutupi tubuh lelaki muda itu.”

Kepercayaan tentang cindaku hanya terdapat di wilayah Kerinci saja. Orang Kerinci yang berkemampuan cindaku hanya bisa berubah menjadi harimau bila dadanya menyentuh tanah Kerinci, tanah yang merupakan tempat berpijak harimau Sumatra, yang berkaitan dengan hak-hak hidup harimau dan manusia yang harus senatiasa dijaga keharmonisannya. Cindaku adalah jelmaan dari manusia yang terlahir dari tanah Kerinci. Tidak semua orang Kerinci adalah cindaku, hanya sebagian orang saja yang mempunyai darah Tingkas (nenek moyang orang Kerinci) dan orang tertentu saja yang mampu berubah menjadi harimau. Orang tertentu yang dimaksud adalah orang-orang yang mempunyai bakat supranatural dan mampu menyerap ilmu yang diberikan oleh cindaku. Lebih khusus lagi, tidak semua keturunan Tingkas mampu merubah diri menjadi cindaku, dalam legenda Kerinci, cindaku akan menampakkan diri jika ada yang mencoba untuk melanggar perjanjian garis tanah saja, sehingga keturunan Tingkas tidak bisa sesuka hatinya untuk mengubah diri menjadi harimau. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa suatu kekuatan besar tidak bisa seenaknya digunakan untuk hal-hal yang kurang bermakna, karena dengan kekuatan tersebut para cindaku mempunyai tanggung jawab besar untuk menjaga apa yang seharusnya tetap terjaga.

Perilaku manusia yang mengetengahkan ambisi dan dendam banyak tertuang dalam cerpen Cindaku. Diceritakan tentang Martias, seoarang pimpinan suatu perusahaan developer raksasa berusaha memenangkan tender dari pemerintah untuk mebuat jalan yang melintasi Muaro Bungo-Kerinci, melewati hutan rimba TNKS - yang merupakan habitat harimau Sumatra - tembus di Renah Pemetik. Tentu saja Cindaku tidak tinggal diam. Pada saat melakukan observasi, salah satu anak buah Martias tiba-tiba menghilang dan ditemukan kembali dalam keadaan mati dengan tubuh tercabik-cabik harimau. Kematian itu sebenarnya merupakan sebuah pesan, lebih tepat lagi ancaman terhadap pelanggar perjanjian garis tanah. Saketi sebagai orang kepercayaan Martias telah mengingatkan atasanya itu agar membatalkan rencananya, namun peringatan itu tidak menyurutkan ambisi Martias.

Martias pada akhirnya memenangkan tender. Hal itu disebabkan oleh kematian salah satu anak buah Martias yang mati akibat terkaman harimau yang menciutkan nyali saingan Martias. Sikap yang diambil Martias untuk meneruskan proyek pemerintah tersebut banyak memakan korban. Sikap tersebut sangat bertentangan dengan apa yang menjadi kepercayaan masyarakat Kerinci. Keadaan yang semula tenang secara tiba-tiba berubah menjadi suatu konflik yang berakibat fatal.

”Pada hari pertama jatuh satu korban. Ini sempat membuat nyali para buruh dan ciut..”

Peringatan sudah diberikan, namun orang-orang Martias belum mampu terbangun dari ketidaksadaran mereka akan bahaya yang mereka ciptakan sendiri. Ketidaksadaran tersebut terkait dengan sifat manusia yang berpandangan sempit dan sepele terhadap hal-hal yang seharusnya dihormati eksistensinya. Manusia terkadang kurang menghargai adanya pesan-pesan leluhur yang berelevansi dengan keseimbangan alam. Terkadang pula manusia mudah melupakan tanda-tanda dan peringatan yang telah dilontarkan oleh alam. Oleh karena itu sering terjadi bencana yang menyebabkan manusia bertanya-tanya apa gerangan yang menjadi sebabnya.

“Pada hari ketiga jatuh lagi satu korban, sementara pembangunan sudah semakin jauh masuk ke dalam hutan. Dan pada hari kelima jatuh lagi satu korban. Para buruh semakin gempar dan geger mentalnya. Seakan telah jadi satu hukum kepastian dalam selang waktu dua hari maka hutan ini menuntut tumbal, nyawa manusia. Pertanyaan-pertanyaan siapa yang akan jadi korban berikutnya senantiasa menghantui benak mereka.”

Keadaan semakin memburuk, orang-orang Martias mulai sadar akan kejadian apa yang sedang dan akan menimpa mereka. Mereka sadar bahwa apabila tidak segera diakhiri, proyek tersebut akan memakan lebih banyak korban lagi.

“Martias terobsesi untuk menciptakan prestasi terbesar dalam sejarah perjalanan karir hidupnya sebagai developer.”

Namun Martias yang telah dibutakan oleh obsesinya tidak memperlihatkan tanda-tanda untuk menghentikan proyeknya. Obsesi manusia merupakan penyulut bagi hadirnya ambisi. Tidak sedikit manusia yang menghalalkan segala cara untuk mewujudkan suatu obsesi, walaupun harus mengorbankan sesamanya.

Diantara gencarnya peringatan dengan cara kekerasan yang dilakukan cindaku, masih ada sebuah kebijakan yang dilakukannya, yaitu dengan memberi peringatan secara halus. Sebagai seorang kakek, ia menyatakan bahwa proyek tersebut merupakan bumerang bagi masyarakat Kerinci, dan menggambarkannya seperti pintu bendungan. Perumpamaan tersebut mengandung nilai-nilai estetis yang membangun pernyataan yang dinyatakan oleh cindaku untuk meyakinkan Martias.

"Tidak anakku, orang-orang Kerinci belumlah siap dengan semua itu. Pembukaan jalan ini malah bisa menjadi bumerang, dan membawa bencana seperti pintu bendungan yang akan menghantarkan air bah kepada mereka, dan ini bisa menghanyutkan atau menenggelamkan mereka dalam arus dunia yang ganas seperti sekarang ini.”

Pada akhirnya, harimau-harimau yang menghuni TNKS (Taman Nasional Kerinci Seblat) melakukan penyerangan terhadap orang-orang Martias. Harimau-harimau tersebut menyerang bukan tanpa alasan, mereka menyerang karena habitat mereka terusik. Ada tradisi yang mnyatakan bahwa harimau Sumatara hanya akan menyerang orang yang berada di pihak yang salah. Harimau pada dasarnya bersifat “pemalu” dan “sopan”, sifat yang seringkali tertutup akibat reputasinya yang mnyeramkan. Karena sifat alaminya tersebut, harimau lebih sering menarik diri sebelum terjadi kontak dengan manusia. Legenda setempat mengatakan bahwa jika seekor harimau bertemu dengan seseorang, maka ia harus membayar dendanya dengan tidak makan sepanjang 40 hari dan malam.

Permasalahan harimau memang sering menjadi kontroversi di derah Kerinci, Jambi. Para anti konservasi yang menganggap harimau sebagai pengganggu manusia sering melakukan perburuan terhadap harimau yang justru perlu diselamatkan dari kepunahan. Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa perburuan itulah yang menjadi penyebab harimau mengganggu manusia.

sumber : www.berandabumi.co.cc/

KETURUNAN CINDAKU.

Keturunan Cindaku

Cerpen Zelfeni Wimra
Dimuat di Jurnal Nasional Telah Disimak 1017 kali



Periksalah keadaan keluarga kita dengan lebih sabar, Bang Yas. Memang tidak bagus bila terus-menerus tersinggung ketika kita dikatakan berasal dari keluarga Cindaku. Dan sungguh tak perlu lagi marah mendengar tudingan bahwa kita lahir dari kakek-nenek yang pengecut. Tidak berani memeluk kebenaran. Takut berperang melawan kejahatan.

Ketika perang saudara sudah meletus di kampung-kampung, kakek-nenek kita mengangkut isi rumah mereka ke puncak-puncak bukit terpencil. Meneruka sawah-ladang baru dan beranak-pinak lagi di sana.

Akan tetapi, Bang. Terlalu yakin, bahwa kita hidup di sebuah planet terbaik yang mungkin pernah ada, pun agak keliru kupikir. Apa tidak sebaiknya, pikiran seperti itu kita periksa pula. Kalau pengelolaan planet ini dikendalikan oleh Tuhan Yang Maha Baik, mungkin sulit membantahnya.

Paling jauh, bila kau, termasuk juga aku ingin memeriksa lebih dalam lagi, hanya membuat kita tercengang. Mengapa kebaikan yang dicita-citakan nenek moyang kita sejak zaman antah-barantah itu tak kunjung jua tercapai hingga kini? Kebaikan itu selalu mendapat perlawanan. Tentu tak perlu pula aku ulang-ulang cerita kuno tentang musabab Adam dan Hawa terlempar ke bumi ini.

Ketercengangan yang kumaksud itu, kalau Tuhan memang Maha Baik, kenapa ia biarkan iblis mengusili kebaikan dengan tipu daya yang merugikan? Seterusnya, kenapa dari sebanyak ini kita, belum pernah hidup seiya-sekata dalam satu pilihan yang kita anggap baik?

Selain pakar merakit barang-barang elektronik dan memperbaiki mesin, kau kan juga pandai berbahasa Inggris. Kenapa masih menghening di puncak Bukitbatu itu? Turunlah, Bang. Di luar sana, peperangan dalam bentuk lain tengah berkecamuk. Buktikan kalau kita bukan dari keluarga cindaku yang takut berperang.

***
Dasar sudah bebal. Setiap mengunjunginya, aku tak henti menceramahinya. Bahkan mengutuki cara hidup yang dipilihnya. Dia tetap tidak berubah.

Pernah, sebuah perusahaan otomotif mengontraknya, menjadi seorang mekanik dengan gaji lima kali lipat gaji PNS. Setelah kami bersama-sama membujuk dan meyakinkannya, ia baru mau menerima tawaran pekerjaan itu. Tapi, cuma berjalan empat bulan, lebih kurang. Ia sudah tiba lagi di puncak Bukitbatu itu. Kembali menggarap kebun kopi dan dan berladang cabai di sana. Itu pun, menurutku tak pernah sungguh-sungguh.

Kalau saja setiap panen ia menabung dan mengembangkan usaha sesuai keterampilannya memperbaiki aneka mesin dan alat-alat elektronik, ia tentu sudah kaya sekarang. Ia malah menghabiskan uangnya untuk membeli alat-alat yang katanya untuk merakit pemancar radio. Aneh. Jalan pikirannya sungguh aneh.

Untuk menikah saja, juga dibujuk-bujuk. Kalau urusan tanggung jawab dalam berumah tangga, mengurus istri dan anak-beranak, aku salut padanya. Empat orang anaknya sekarang. Jarak usia masing-masing dua tahun. Paling tua sudah setahun tamat SMA. Semua terbelanjai olehnya. Meski hanya menjadi petani sambil membuka bengkel, ia belum pernah kami dengar kesulitan dalam membiayai hidup.

Barangkali karena melihat keadaan itu, Ibu kami punya niat yang lain terhadapnya. Ibu kami berharap, ia berubah ketika anak-anaknya sudah harus kuliah.

“Biar dia tanggung sendiri nanti, apa rasanya membiayai anak kuliah. Mudah-mudahan dia sadar pada waktu itu, bahwa duit memang harus banyak,” ucap ibu. Waktu itu, aku meminta abangku yang di Bali membawa ibu ke Jakarta. Buat acara semacam reuni keluarga begitu. Bapak, kami sudah tidak punya. Tinggal ibu yang terus kami gilir.

Adikku yang di Jogja dan yang di Makasar juga diminta datang membawa anak istri masing-masing. Di Jakarta, kami semua berkumpul. Sebelum-sebelumnya, baik pada pembicaraan kami melalui SMS, email, atau telepon, tak pernah yang tidak menyinggung perangai abang sulung kami itu. Selalu terselip komentar atau sekedar pertanyaan tentang keadaan terkininya.

“Bagaimana kalau selera hidupnya juga turun kepada anaknya? Cerdas. Memiliki banyak kemampuan. Tapi, konyol,” tanggap abangku yang sekarang menetap di Bali.

Seisi ruang tengah riuh karena tawa kami. Kadang-kadang, keadaannya jadi lelucon yang sebenarnya tak pantas kami lakukan. Tapi, bagaimana lagi. Memang begitu adanya. Tidak menaruh perhatian sedikit pun pada saudara sendiri rasanya lebih tak pantas lagi. Sulit bagi kami untuk menahan tawa bila mencoba memperhatikannya. Tawa yang bermuatan kesedihan. Kasihan.

Tahun lalu, kami diributkan berita di Internet. Gubernur daerah asal kami yang baru terpilih memberi penghargaan kepada seorang mekanik unik yang memilih tinggal di puncak Bukitbatu. Dalam berita itu dipaparkan riwayat hidup singkat si mekanik unik, bernama Yasmin yang berhasil menciptakan aneka mesin pengelola pertanian, berupa mesin bajak mini, mesin penumbuk biji kopi, pemanas gabah, dan juga pandai merakit pemancar radio.

Tanpa beban, ia mengatakan dirinya berasal dari keluarga cindaku yang memilih memisahkan diri dari dua kelompok yang selalu berperang. Satu kelompok yang menganggap diri mereka benar dan memerangi kelompok yang menurut mereka memelihara kejahatan. Kebenaran yang mereka bawa berasal dari nab-nabi pilihan.

Kelompok satu lagi justru menganggap merekalah yang benar. Mereka bersikukuh pada paham yang mengatakan kebenaran itu ada di mana-mana. Kebenaran bukan pesanan dari langit atau dari bangsa lain yang merasa dipilih Tuhan mengirim nabi-nabi.

Tak berhenti sampai di situ. Setelah peperangan yang terjadi karena upaya-upaya menegakkan kebenaran dan diperkeruh oleh bangsa penjajah berakhir, peperangan lain menyusul. Peperangan itu bersebab pemahaman bagaimana cara mencintai bangsa. Satu kelompok menganggap mereka mampu memajukan bangsa lalu memulai pembangunan.

Kelompok yang lain justru menganggap penguasa itu salah jalan. Terlalu tamak dengan kekuasaan. Tak pandai meratakan kesejahteraan. Mereka yang tinggal jauh dari pusat kekuasaan merasa telah tertipu oleh penguasa yang itu. Lalu mereka memberontak.

Nenek-moyangnya yang sejak perang pertama berakhir sudah kembali turun dari Bukitbatu itu dan bertebaran dalam hidup yang wajar, terpaksa kembali mengasingkan diri. Tapi tidak semuanya yang bisa kembali.

Banyak di antara mereka yang lari dan tersesat ke tempat lain. Tak tahu lagi jalan kembali.

“Tidak jauh-jauh mengambil contoh. Dalam keluarga saya sendiri. Saudara kandung saya, banyak yang sudah tak tahu jalan pulang,” begitu kata bang Yasmin.

Bang Yasmin, seperti kata berita itu, mengaku bangga terhadap pilihan nenek moyangnya menjauh dari konflik berdarah. Nenek moyangnya cinta damai. Sekalipun dengan resiko dikatakan keluarga cindaku. Inilah di antara alasan yang dipertahankannya selama menetap di Bukitbatu yang terpencil itu.

Tapi cindaku tetap cindaku. Bila benar hantu yang suka menakut-nakuti orang di tempat-tempat terpencil itu telah merasuki bang Yasmin, kami juga tak bisa berbuat banyak. Sebab kami sekeluarga telah lama hidup berpencar di negara ini.

Sekarang kami tinggal bersiap-siap, menunggu bang Yasmin disadarkan keadaan. Kami dengar, dealer dan jasa servis kendaraan bermotor sudah masuk ke kampung di bawah Buktibatu itu. Stasiun radio dan televisi, bahkan juga warung-warung internet sudah masuk hingga ke kecamatan paling terisolir seperti Bukitbatu.

Seperti pernah diperkirakan ibu kami, selama bang Yasmin masih bersikukuh dengan prinsip cindaku itu, ia akan sadar sendiri. Bayangkan, untuk memiliki telepon genggam saja ia tidak mau. Ibu pernah meminta kami membelikannya. Tapi, ia kembalikan lagi.

Perkiraan ibu benar benar. Anak sulung bang Yasmin bersikeras ingin kuliah di jurusan teknik mesin. Sementara ia melarang dengan alasan, dirinya tak pernah kuliah, hanya tamat STM, tetapi juga pandai bahkan lebih pakar soal mesin dibanding mereka yang tamat kuliah teknik mesin.

Anaknya itu kabur ke Jakarta dan menemui suamiku yang kebetulan bekerja sebagai pengajar di sebuah sekolah tinggi teknik. Aku hanya geleng-geleng kepala ketika suamiku pulang bersamanya. Apalagi, setelah anak sulung bang Yasmin bercerita soal adiknya yang tahun depan tamat SMA juga akan kuliah, karena ia bercita-cita jadi dokter.

Aku sengaja pulang ke Bukitbatu untuk menemui bang Yasmin, menjernihkan persoalan ini. Dasar sudah bebal. Kepulanganku ia sambut dengan sikap yang dingin.

“Kalau kau mau memelihara anak itu, peliharalah. Tapi, ingat. Ia keturunan cindaku. Suatu saat ia akan pergi meninggalkanmu, mencari tempat-tempat terpencil, dan menakuti-nakuti orang dari situ!” ucapnya dengan nada suara yang acuh. Aku menggigil. Bukan karena tersinggung mendengar ucapannya. Bukan. Sekujur tubuhku gemetaran karena seketika aku teringat diriku yang sudah belasan tahun menikah, tapi belum juga punya anak.


cerita dari. Payakumbuh, 2008